Pada suatu siang di kawasan Jatinegara Indah,
DHUARRRRRRRRRRR
Tanpa basa basi petir menyambar siang hari bolong, mengagetkan seorang bayi yang sedang terlelap tidur hingga kemudian menangis, dan lalu tangisannya membangunkan ibu yang ketiduran di sisinya. Sang ibu kaget betul, bangun dengan mata berkunang-kunang. Dilihat dan dipukpuknya si bayi agar kembali tenang. Namun si ibu merasa aneh, ia melihat semua hal di sekitarnya samar-samar menjadi kuning. Tembok kamar bersemu kuning, seprei kuning, pun wajah anaknya yang menangis.
–***–
19 Juli 2016
Hari ini, lima hari setelah Rimba lahir, adalah jadwal kontrol Rimba ke dokter anak, sebut Dokter HN. Janji temu dengan beliau di pukul 07.30 dengan wanti-wanti dari suster agar tidak terlambat datang karena dokter HN bukanlah tipe yang suka menunggu dan kami kebetulan dapat antrian nomor 1. Pukul 07.00 kami sudah sampai di RS. Keadaan masih sangat sepi. Beberapa sudut malah masih gelap. Beberapa saat setelah kami menunggu, baru RS menjadi terang dan petugas kebersihan serta suster mulai lalu lalang.
Tiga puluh menit, dokter belum juga datang. Sejam berlalu, belum juga datang. Aku sudah beberapa kali bolak-balik ruang menyusui karena Rimba mulai kasak kusuk lapar. Pada pukul 08.30 akhirnya beliau terlihat. Rimba segera ditimbang beratnya, diukur suhu badannya, diukur tinggi badannya oleh suster, baru masuk ke ruang dokter.
“Tadi pampers nya dibuka ngga?” tanya Dokter HN ke suster
“Wah, engga tuh, Dok” jawab si Sus
“Buka dong. Bajunya juga. Biar fair.”
OMAKKK, batinku. Pengukuran berat badan diulang kembali.
“Tu kan. Berkurang 1 ons. Ini lebih akurat,” kata Dokter HN
Akurat sih akurat anak eug mengkerut kedinginan, sorry ini naluri mamaknya masih nggak terima.
Setelah itu, Rimba mulai diperiksa tanda vitalnya. Detak jantung. Respon mata. Reflek tangan dan kaki. Semua bagiku tampak baik-baik saja.
“Bu, ini anaknya kuning ya.”
HAH. GIMANA GIMANA.
“Kuning sekali ini lho. Lihat.” Dokter HN menekan kedua alis Rimba. Ada gurat kuning di sana. Lalu menekan perut Rimba. Ada gurat kuning di sana. Lalu menekan paha Rimba. Juga ada gurat kuning di sana. Lalu telapak kaki Rimba.
“Kalau sudah sampai kaki begini kuningnya, saya rasa sih bilirubinnya lebih dari 12 nih. Tuh Ibu Bapak lihat sendiri kan.”
Kami bingung.
“Jadi gimana, Dok?”
“Ya tes lab dulu. Nanti kalau sudah tahu angka pastinya berapa, kita tahu apa yang harus diperbuat. Ini saya bikinkan rujukan ke labnya ya biar bisa dites hari ini juga dan hasilnya cepat.”
Surat rujukan selesai dibuat dan diserahkan, kami keluar ruangan dokter.
“Gimana ini?” tanyaku
“Yaudah. Nanti ke lab. Sekarang makan dulu aja. Kamu kan menyusui.”
INI GIMANA LAGI BINGUNG MALAH DISURUH MAKAN SIH! Tapi aku ya nurut aja lhawong laper. Jalan ke kantin RS yang nggak jauh dari klinik anak, pesan nasi soto biar cepet. Soto sudah terhidang di meja, nggak selera makan. Rasanya bener-bener kayak disamber petir yang tempo hari ke Jatinegara Indah itu. Jadi bener ternyata kuning waktu itu bukan karena mataku berkunang-kunang karena bangun tidur kaget? Jadi anakku kuning? Duh mataku panas rasanya. Lihat ke suami,
“Udah makan dulu aja! Jangan lebay!” suamiku emang ngga ada perasaannya menasihati
Kupaksa-paksain makan sambil dleweran luh. Kucoba-cobain masukin makanan ke mulut meski ngga habis pikir dan rasanya pedih. Ya Allah, hidup gini amat ya. Udahlah mahal, sotonya ngga enak pula. *lhaaaaaa*
Setelah adegan dramatisasi makan soto, kamipun pergi ke laboratorium untuk melakukan tes yang dimaksud. Tentunya setelah menyelesaikan administrasi pembayaran yak arena RS ini bukan punya neneknya Rimba. Melihat cara pengambilan darahnya, tentu ku mewek lagi. Bayi umur 5 hari, ditubles jarum diambil darahnya. Ya Allah, hatiku kecuil cuil.
Sejam berlalu, hasil sudah keluar. Langsung kami bawakan ke ruangan Dokter HN tetapi ternyata dokternya sudah pulang. Suster akhirnya membacakan hasilnya kepada kami. Benar ternyata dugaan Dokter HN bahwa bilirubin Rimba lebih dari 12, lebih tepatnya 13,25 dengan detail direct bilirubin 0,7 dan indirect bilirubin 12,59. Hasil tersebut dikomunikasikan oleh suster ke Dokter HN. Beliau kemudian menyarankan untuk fototerapi dan anak diberi susu formula dengan merek susu formula yang sudah tersedia di RS.
Sebagai ibu baru dengan idealisme berapi-api seperti Bagan *itu mah siapi api*, pemberian susu formula ini tidak ada dalam rencana pengasuhan anak milikku. Tolong sekali lagi ini bukan karena aku anti atau hater ya. Murni karena saat itu dalam pikiran yang bingung tapi prinsip masih tegak, ini tidak dapat diterima. Mengapa? ASI-ku ini kenapa emangnya? Aku baru menyusui selama 5 hari lho. Trus kenapa kok kudu minum susu lain? Further explanation kenapa alasannya aku nggak dapat dari dokter tersebut. Padahal ini krusial bagiku karena menyangkut anakku, yang baru kemarin aku ngedenin dari perut. KALAU KAMU NGA TAU RASANYA MENDINGAN DIAAAAM! KAMU CUMA ORANG LUAR! JANGAN SEENAKNYA *lha dia dokter Moms* *oya maap terbawa suasana sinema hidayah*
Mungkin (mungkin saja) jika dokter dapat menjelaskan detail, memberi pemahaman lebih, bisa jadi aku terima saran tersebut. Nah, terdorong rasa ketidakterimaan tadi, aku kemudian tanya dengan susternya
“Ini memang harus banget disinar dan dikasih sufor, Sus?”
Suster, kebetulan ada dua suster di meja penerima saat itu, berpandangan.
“Jujur, Bu, sepanjang kasus yang saya temui, kalau bilirubinnya di bawah 14 nggak perlu disinar.”
NAH BEDA.
“Oke. Jadi gimana? Bisa nggak saya cari pendapat lain? Saya butuh second opinion. Ada dokter anak lain praktik hari ini ngga? Yang gamblang orangnya.”
Suster kemudian mencari-cari di antara nama-nama dokter yang praktik hari itu.
“Ada, Bu. Dokter ADP. Tapi orangnya rada galak. Tapi yang diomongin tuh bener kok. Masuk akal.”
“NGA PAPA! Daftarin saya ke situ.” Dalam hati eug ya bodo amat mau galak mau beringas mau liar pokoknya mau second opinion titik. Btw, ADP bukan kepanjangan AchmadDaniPrasmanan loh. Bukan.
Kamipun menunggu dan menunggu lagi.
Tibalah giliran kami masuk ke ruang dokter ADP.
Wanjay eug kaget karena mukanya mirip salah satu asisten manajer kantor eug masa. xD
“Gimana, Bu, Pak? Kenapa ini anaknya?”
WANJAYYY ini suara ama lenggat-lenggutnya sama persis asisten manajer eug ya Allah pingin ketawa saat itu juga dasar aku mamak tidak tahu sikon.
Kami ceritakanlah itu perjalanan kami dari pagi sampai sesiangan, bagian soto mahal ngga enaknya tentu kami potong karena lumayan barangkali bisa jadi punchline alias minta ditabok lu ya crita crita gitu?! *kan punch hehehe*
“Saya sih ngga mau komentar ya karena setiap dokter pasti punya pertimbangan sendiri.”
Baiq, Doq
“Kalau misalnya Ibu Bapak nggak suka, saya tanya, KENAPA DARI AWAL IBU BAPA MAU ANAKNYA DICUBLES CUBLES JARUM? HARUSNYA KAN DARI AWAL JANGAN MAU. SEKARANG ANAK IBU UDAH KESAKITAN DIAMBIL DARAHNYA.”
Nga baiq, Doq.
Kitaorang diomelin dah.
Kemudian beliau menaruh Rimba di kasur periksa. Mengecek feses (kebetulan paaaas banget Rimba eek belum digantiin) dan urine, mengecek keaktifan kakinya (saat diletakkan, kaki Rimba bergerak seperti mengayuh sepeda). Dokter ini jelasin banyak banget, lupa lupa detailnya tapi intinya begini:
“Gini loh ya. Menurut saya anak Ibu dengan bilirubin segini wajar. Namanya bayi, fungsi hati belum kerja optimal. Ibu lihat kan tadi. Feses kuning, artinya dia masih usaha ngeluarin bilirubin tuh. Anaknya aktif. Ciri-ciri anak kuning yg parah itu fesesnya pucet kayak dempul warnanya dan anaknya diem, lemes, ngga ada aktivitas.”
Fiuh, alhamdulillah at one point.
“Saya nggak saranin disinar. Saya nggak saranin sufor juga. Saya cuma saranin, bawa ini anak pulang. Pagi jemur. Jemur bukan biar kuningnya ilang tapi biar dia ngerasa haus. Susuin yang banyak. Maksimal 2 jam paling lama jeda nyusunya. Kalau dia tidur terus…..nah ini….tips kalau dia tidur terus nggak bangun-bangun, Ibu sentil aja telapak kakinya,” Dokter nyentil kaki Rimba segelem-gelem trus anake jenggirat kaget begitu pula mamaknya.
ALLAHU AKBAR ANAKKU MESAKNO KOWE NAK.
“Gitu ya Bu, Pak. Dah. Kontrol ke sini seminggu lagi. Observasi lagi kuningnya.”
Keluar dari ruangan dokter bener-bener cessssssss hatiku seperti tenggorokan habis puasa kena es sirup marjan tapi es sirup marjannya dibikinin bidadari surga pokoknya enak tapi enak banget gitu. Terima kasih ya Allah sudah memberi pertolongan kepada kami lewat dokter itu.
Terima kasih ya Dok.
Minggu depan saya kontrol tapi ndak papa ya kalau minggu depan saya nggak ke dokter lagi. Mau cari alternatif lain. Hehehehe.
27 Juli 2016
Setelah menerima nasihat dari dokter ADP tempo hari, aku mulai nonstop googling mengenai ‘kasus’ bilirubin ini. Dari pencarian tersebut banyak yang bilang jika bayi kuning memang sesuatu yang umum dialami bayi baru lahir. Selama di rumah pula aku mulai menjalankan saran yang diberikan dokter ADP. Menyusui lebih sering dengan tetap memperhatikan tanda-tanda vital anak: anak tetap aktif dan fesesnya masih kuning. Akupun mulai mencari-cari kandidat dokter anak lagi hingga kemudian dipertemukanlah dengan dokter bernama Dokter HBW. Review yang kubaca, dokternya masih muda dan kebetulan dia adalah anak dari dokter anak senior di RS itu juga. Orangnya baik, penjelasannya gamblang dan yang terpenting ganteng sabar. Kulihat jadwalnya cocok dengan jadwalku sebagai ibu pekerja. Alhamdulillah, emang kalau jodoh nggak ke mana. *yang jodoh ya Rimba bukan mamaknya*
Kunjungan pertama ke dokter tersebut sekitar 6 hari dari kunjungan ke Dokter ADP. Bujug. Rame juga. Ada kali sejam nunggu antrian dokternya. Memang kalau dokter ganteng sabar tuh gini kali ya. Tapi aku tidak menyerah. Kan kubuktikan pada duny……
“Anak Saba……….”
YA SUS. Kamipun masuk ke ruangan.
“Halo…*melihat buku rekam medis*….Saba Rimba. Namanya bagus.”
YAK GUE SUKA DOKTER INI. *shallow mum*
Kemudian kami ceritakanlah perjalanan Rimba dari A ke Z mengenai bilirubin ini. Dokter HBW kemudian memeriksa Rimba. Hampir sama dengan Dokter ADP, ditanya fesesnya berwarna apa. Ditanya anaknya aktif atau tidak. Saat dibaringkan ke kasur periksa, Rimba lagi lagi melakukan gerakan kaki mengayuh yang mana itu tanda yang bagus. Dilihat lagi grafik berat badannya. Ditekan area sekitar alis, perut, paha dan telapak kaki Rimba. Akhirnya Dokter HBW memberikan kesimpulan kepada kami.
“Ini mah breastmilk jaundice.”
HAH. APAAN LAGI TUH. Maknya goblo.
“Jadi, kuningnya ini disebabkan oleh ASI dari ibunya.”
MAMAM DAH.
“…tapi yang jadi obatnya ya ASI ibunya juga. Ngga ada yang lain. Jadi susuin aja terus.”
Aduh otak sesendok eug kaga nyampe ini.
“Kalau sebelum ini bilirubinnya 13, ini sih kayaknya 11an. Ibu lihat kan tadi, beberapa memang masih kuning. Kalau area muka itu pasti di semua bayi kuning paling lama hilangnya. Lihat di telapak kakinya. Nah. *dia nunjukkin dengan menekan nekan telapak Rimba* Udah gak kuning. Kalau begini saya yakin ga sampe 12 ini.”
Alhamdulillah. Eug suka dokter ganteng sabar ini. :’)
“Perlu tes lab nggak, Dok?
“…Ya kalau Ibu mau. Tapi saya sih bilang nggak perlu ya. Kasian anaknya ditusuk jarum sakit.”
“OKE DOK NGAUSAH. Hehehehe.”
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Perasaan makin lega kudapatkan saat keluar dari ruangan Dokter HBW. Meski masih sedikit waswas tidak bisa kupungkiri memang, tetapi bayangan aneh-aneh bisa hilang untuk saat itu.
Bagi yang masih awam dengan apa yang disebut breastmilk jaundice ini, aku coba berikan beberapa tautan yang dapat dibaca ya.
Yang terakhir sering disebut-sebut adalah: Breastmilk Jaundice. Kondisi ini biasanya timbul setelah bayi berusia sekitar 1 minggu dan memuncak pada hari ke-10 sampai ke-21, namun dapat berlangsung selama 2-3 bulan. Selama kurun waktu tersebut, walaupun bayi banyak minum ASI, pertambahan BB-nya bagus, BAB sering, BAK berwarna bening, bayi sehat, aktif, lincah dan responsif, namun Bilirubin-nya tetap tinggi dan bayi tetap kelihatan kuning. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebaban kondisi ini, namun kalangan medis mencurigai bahwa Beta Glucuronidase, suatu zat yang terdapat dalam ASI mengurangi kemampuan lever bayi untuk mengatasi kadar Bilirubin dalam tubuhnya. Breastmilk Jaundice adalah normal. Tidak perlu untuk berhenti menyusui dalam rangka melakukan “diagnosa” atas kondisi ini. Apabila bayi dalam kondisi sehat seperti disebutkan diatas, maka tidak ada alasan untuk berhenti menyusui dan memberikan ASI. (https://aimi-asi.org/layanan/lihat/sakit-kuning-dan-menyusui)
Breast Milk Jaundice is jaundice that persists after physiologic jaundice subsides. It is seen in otherwise healthy, full-term, breastfed babies. There is no known cause for this type of jaundice, although speculation is that it may be linked to a substance in the breast milk that is blocking the breakdown of bilirubin. Breast milk jaundice tends to run in families. This form of jaundice, however, does not mean that something is wrong with the mother’s milk and that breastfeeding should be stopped. Most babies who present with true breast milk jaundice (only 0.5% to 2.4% of all newborns) may see another rise in bilirubin levels at about 14 days. The bilirubin levels will eventually decrease. Breast milk jaundice can last for 3-12 weeks after birth, but as long as the baby is feeding well and bilirubin levels are monitored, it rarely leads to serious complications.
(http://americanpregnancy.org/breastfeeding/breastfeeding-and-jaundice/)
Kira-kira seperti itu. Pada artikel tersebut ada pula kondisi yang disebut breastfeeding jaundice. Pada kasus Rimba, Rimba dinilai cukup ASI dilihat dari BAK yang sering dan warnanya bening, feses berwarna kuning terang, serta pertumbuhan berat badan yang baik (pada lima hari pertama setelah lahir ia naik 300 gram, lalu tujuh hari setelahnya naik 500 gram) juga anak yang aktif dan lincah sehingga dikategorikan sebagai breastmilk jaundice bukan breastfeeding jaundice.
Dari kunjungan terakhir ke Dokter HBW, kami dijadwalkan untuk kontrol lagi sebulan setelahnya sekalian melaksanakan vaksin hepatitis B yang kedua. Saat itu akan dipantau lagi apakah masih kuning atau tidak. Hopefully not!
19 Agustus 2016
Tibalah hari kontrol juga. Gila ya sebulan rasanya degdegan menunggu hari ini udah kayak nunggu akad. Kami berangkat ke RS dengan hati berdebar-debar. Long story short, saat sudah di ruang praktik dokternya:
“Lho. Ini kuning lagi.”
Astaghfirullah. Lagi-lagi ada petir yang menyambar, kali ini ledakannya lumayan.
“Ibu lihatlah ini. Telapak kaki juga kuning. Saya khawatirnya ada yang ngga beres ini. Trus kulup juga sempit sekali ini. Bisa kena infeksi saluran kemih juga ini. Tapi kalau ISK, bisa sunat. Nah kalau kuningnya, saya sarankan konsultasi ke dokter ahli hati ya. Biar dicek. Mana tahu ada yang missed dari penglihatan kita.”
Rasanya mendengar itu ya, hm, mau nangis meraung-raung saat itu juga. Ya Allah, cobaan belum selesai rupanya. Namun aku tidak menyerah. Anakku haruslah bebas dari kuning ini. Dokter HBW kemudian memberikan surat rujukan kepada dokter ahli hati yang kebetulan juga ada di RS itu. Kami kemudian membuat janji dengan bagian pendaftaran. Besok pagi akan bertemu dengan beliau.
20 Agustus 2016
Nama dokternya Dokter YSN. Aku dapat antrian nomor 2 di pagi hari sekitar pukul 09.00. Semoga dokternya tidak terlambat, batinku. Dari jadwal praktik, sejam kemudian dokter tersebut baru muncul. Pasien pertama masuk, kupikir ‘oh ya paling 15 menit keluar’. Ternyata pikiranku salah. Empat puluh menit kemudian pasien pertama baru keluar. NGAPAIN AJA DI DALAM, batinku.
Tiba giliranku masuk, oh oke. Dokter YSN adalah seorang dokter senior. Beliau bahkan membahasakan dirinya ‘Nenek’ ketika berhadapan dengan Rimba. Sebelum memulai periksa, beliau menjelaskan detail mengenai bilirubin pada bayi, mengapa bayi kuning, dsb aku ngga bisa ingat lebih banyak monmaap. Setelahnya, baru diperiksa badan Rimba.
Sebenarnya pemeriksaan badan yang dilakukan hampir sama dengan dokter-dokter sebelumnnya, hanya saja beliau lebih teliti dan pelan. Pantesan tadi antrian nomor 1 lama keluarnya. Detail, Bok. Sejauh yang bisa kuingat, perut mendapat perhatian lebih.
“Kalau diperiksa sepertinya organ hati bekerja baik. Namun untuk lebih memastikan, kita tes lab saja ya.” Lagi-lagi kami diberi surat rujukan untuk ke laboratorium. Kata Dokter YSN, jika cepat melakukan pemeriksaan maka hasilnya juga segera bisa didapat di hari itu juga. Sayangnya karena Dokter YSN tidak bisa standby, maka ketika hasil didapatkan kami diminta untuk menghubungi beliau lewat telepon dan memberitahukan hasilnya. Baiq, seperti yang sebelumnya lagi. Btw, dari Dokter YSN kami sudah diberikan resep obat pemecah bilirubin.
Setelah itu, kami segera mengurus administrasinya agar segera bisa melakukan tes. Tes yang kami lakukan adalah tes Gamma GT, bilirubin total-direk, dan tes urine untuk melihat apakah ada ISK atau tidak (aku lupa nama tesnya). Hasil untuk tes Gamma GT dan bilirubin total-direk, didapatkan pada pukul 15.00, sedangkan tes urine baru dapat diambil 3 hari kemudian. Meskipun amplop sudah ditangan mau buka rasanya beraat sekali. Rasa-rasa belum siap menerima kenyataan jikalau apa yang dikhawatirkan dokter itu benar. Namun membiarkan amplopnya tertutup terus juga bukan keputusan yang bijak kan? Maka dengan disertai doa doa yang dihapal, dibukalah amplop tersebut.
.
.
.
.
“Halo, Dok YSN. Ini saya orang tua Rimba yang tadi pagi konsultasi.”
“Iya gimana?”
“Kalau dari hasilnya tertulis nilai di bawah nilai rujukan gimana, Dok?” kami menyebutkan angka yang tertulis di kertas yang ada di depan kami.
“Oh. Ngga papa. Berart tidak ada indikasi adanya gangguan hati atau empedu.”
ALHAMDULILLAH. Rasa syukur tak terhingga mendengar itu semua. Dokter YSN kemudian menutup telepon dengan berpesan agar obat diminumkan karena tujuannya untuk mempercepat pemecahan bilirubin dalam tubuh.
Baiq, Doq.
Namun tahukah Anda jika baiq doq hanyalah baiq doq semata? *ini gimana maksud kalimatnya ini pembaca bingung*
Sesampainya di rumah, aku ngiling-iling obatnya yang berbentuk puyer racikan dalam resep yang bisa kubaca tertulis “urdafak”. Oh iya sebelumnya ada yang kelupaan. Saat mengambil obat tersebut, apotiker menanyakan kepada kami:
“Ibu, anaknya epilepsy berat?”
Me lyke whaaattttttttt?
Nah dari situlah aku mulai inisiatif googling mandiri kembali. Beberapa artikel yang kubaca tidak menyarankan penggunakan ‘obat jadul’ urdafak ini untuk kasus anak breastmilk jaundice. Haduh, dalam hati meringis kenapa aku harus tahu ini semua kenapa obatnya sudah tertebus duluan etapi ngga papa yah malah bagus daripada salah-salah.
Berbekal hal tersebut, kuminta swami menanyakan ke dokter HBW apakah perlu mengonsumsi obat tersebut. Kemudian beliau menjawab silakan diminum saja. TAPIIIIIII insting mamak mamakku belum puas mon maaf. We need the second opinion.
Buru-buru whatsapp teman kantorku. Tanya dia konsultasi dengan dokter anak siapa. Dijawablah dengan Dokter MGT di RS perusahaan. Aku tanya bagus nggak dokternya, dijawabnya bagus, proASI, anti dot, ramah, penjelasannya gamblang. Dan disebutnya juga bahwa Dokter MGT adalah dokter anak bosnya yang mana aku kenal si bosnya ini orangnya rada riwil kalau sama sesuatu, riwil dalam arti semua kudu bagus kudu perfect. Dari situ aku berkesimpulan sementara, dokternya bagus. Kucari-cari jadwalnya kebetulan ybs praktik di dua RS berbeda; Senin s.d Jumat ada di RS perusahannku, Sabtu ada di RS Swasta. Hanya saja setelah menimbang-nimbang jarak juga masalah cover biaya dari perusahaan, aku memutuskan untuk lebih baik mengambil cuti atau izin kerja setengah hari daripada jauh-jauh ke RS Swasta ini.
22 Agustus 2016
Setelah menyelesaikan administrasi sebagai pasien baru yang mana prosesnya nggak ribet mungkin karena RS perusahaanku juga kali ya, mengantri kembali untuk bertemu dengan Dokter MGT. Again, perasaan degdegan tiap mengantri di dekat ruang praktik dokter ini selalu datang ya. Kali ini apalagi, makin kencang karena lagi-lagi Rimba ketemu dengan dokter baru dengan masalah yang masih sama dan belum terpecahkan.
Tidak lama nama Rimba dipanggil. Masuk ke ruang dokter, wew, surprisingly dokternya masih muda dan (semoga bukan dianggap harassment) cantik.
“Haaaiiiiiiiiiii, Saba”
Pembawaannya juga cantik dan ramah. Fix! Eug demen dokter ini. *orang yang mudah terkesan*
Kuceritakan detailnya berusaha seinformatif mungkin. Kutunjukkan hasil-hasil laboratorium yang pernah dijalani Rimba. Beliaunya terlihat antusias mendengarkan dan aku senang melihatnya. Setelah ceritaku selesai, barulah beliau merespon. Mengeluarkan semacam tabel dari dalam laci, lalu bilang bahwa tindakanku sudah tepat. Bilirubin di bawah 14 tidak perlu fototerapi karena menurut panduan WHO yang tertuang dalam tabel yang dia keluarkan tadi, jika di atas 18 (cmiiw) lah yang perlu terapi tersebut.
“Ibu kan lihat sendiri. Anak aktif. Berat badan bagus. Nyusu kenceng. Betul tuh kata Dokter HBW. Anak Ibu breastmilk jaundice. Trus kenapa dia galau?”
Alhamdulillah!
“Trus Dok, saya kan kemarin dikasih obat racikan juga. Di resepnya kalau nggak salah namanya Urdafak. Perlu nggak ya?”
“Urdafak ya? Ngga usah ya. Itu obat zaman dulu memang. Kalau di kasus anak Ibu yang mana yang tinggi adalah bilirubin indirect nya, saya nggak kasih. Saya kasih ke pasien saya yang justru bilirubin directnya yang tinggi.”
Puji syukur sekali aku dipertemukan dengan Dokter MGT ini. Sungguh rezeki Rimba ini bagus. Pulang dengan perasaan lega dan gembira, ternyata apa yang aku lakukan dengan petunjuk Allah sudah tepat. Pulang dan melanjutkan terapi ASI lagi serta berharap di kontrol berikutnya yakni saat Rimba usia 3 bulan, kuningnya sudah lenyap.
21 Oktober 2016
“Halo, Dokter”
“Halooo, Sabaaaa. Eh sekarang udah nggak kuning ya. Sekarang coklat.”
YES HE IS. :’)
———————————————————- selesai ————————————————————
Tambahan dari penulis:
Sekali lagi, saya menceritakan ini semata-mata bertujuan untuk merawat ingatan saya bahwa anak saya pernah mengalami ini semua. Bukan bermaksud mengajak pada siapapun untuk melakukan hal yang serupa. Barangkali cara yang saya tempuh tidaklah tepat tetapi itulah cara yang saya pilih untuk anak saya dengan kondisi di saat itu. Jika buah hati pembaca memiliki kondisi medis yang mirip, baiknya berkonsultasilah dengan pihak yang kompeten, dengan tenaga medis, karena kondisi yang mirip belum tentu treatment yang didapat akan sama.
Terima kasih telah membaca. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan.