#ModyarHood Nyebelin Sih Tapi Ngangenin Gimana Dong?

Sudah pukul 04.21 WITA tetapi belum ada rasa-rasa mengantuk juga inilah yang akhirnya mendorong daku memutuskan ikutan menulis #Modyarhood bulan ini dengan topik momen ibu dan anak yang awalnya disebelin, etapi kok lama-lama bikin kangen juga. Bukan karena biar traffic blog ramai atau karena hadiah lho ini, MbaPut, Mamamo. *yak panitia tolong kasih hadiahnya atas ketulusan ini* *lha gimana*

Ehem.

Jikalau berbicara mengenai hal apa yang menyebalkan tetapi kemudian dirindukan setelah merasakan betapa chaosnya  INDAHNYA masa-masa punya anak ini kayaknya bisa jadi lima postingan sendiri sih ya. Namun karena saya orangnya malas menulis efektif maka saya rangkum menjadi dua poin saja.

1.RUMAH BERANTAKAN

Pada masa kegadisan saya yang gilang-gemilang (menurut saya sendiri), benci banget lihat segala sesuatu tidak pada tempatnya. Handuklah, buku-buku, laptop, plastik bekas makanan, apalagi kulit buah tidak segera dibuang ke tempat sampah. It’s a no! Meski nggak rapi sistematis banget tetapi sense of kerapian dan kebersihan yang saya punyai patut diandalkan pada masa itu. Ya gimana ya, lagi bete aja milih ngosek WC biar legaan. Hohoho *murah sih ya ngga ngeluarin duit* *ternyata qizmin*

Setelah punya anak, JENGJETTT.

Boneka-boneka baru disusun di tempatnya, anak lanang utuk-utuk dateng. Nyanyi-nyanyi kecil, tangannya lincah melemparnya satu demi satu. Baik. Tumpukan baju habis disetrika, diambil satu, dilihat-lihat lalu ditaruh di lantai juga ala-ala decluttering. Proses tersebut diulangi beberapa kali sesuka hatinya. Jika sedang happy, satu tumpuk tinggi baju terkapar semua di lantai. BAIKK.

tisu mana tisu

Mau marah, tapi mikir bahwa itu bukan hal yang memerlukan kemarahan. Toh dia tidak membahayakan siapapun. And hey, he’s exploring right?

Akhirnya ya dibereskan kembali sambil mengelus dada. Mengelus dada karena mamaknya lagi beresin satu, dia buang lagi hal lain satu. Gitu aja terus sampai kamu lulus kuliah, Nak!

Merasa kesal? Tentu saja. Namun siapa sangka mamak satu ini bisa kangen rumah berantakan yakni pas anak  sakit. NO WORDS CAN DESCRIBE HOW IT FEELS WHEN YOU SEE YOUR OWN CHILD SICK.

Bener dah. Nggak pake babibu, nggak pake mikir keselnya atau capeknya, bisikin di telinga anak yang sakit “Nak….sembuh ya, Nak. Nanti main berantakin boneka lagi. Nanti main tarik tarik baju lagi ya. Asal sembuh dulu ya Nak”

Hayoooo Buibu mengaku. Bukan cuma saya saja yang berhati tidak konsisten kan? Muahahaha.

2. MENYUSUI

Memang sudah diniati sebelum anak lahir, menyusui dengan keras kepala dan tekat bulat. Namun sesuper apapun saya, tetap saja bisa merasa bosan, merasa capek, merasa ingin ‘bebas’. Apalagi di umur anak yang sudah lebih dari 20 bulan ini. Sangat ingin merasa bebas tidur semalaman, ingin tidur nyenyak miring ke sana ke mari, tanpa digandoli satu dadanya karena anak sedang menyusu. (Saya menyusui hanya dengan satu payudara saja)

Namun lagi-lagi apalah dayaku. Perasaan capek, ingin bebas, dsb dsb tadi itu entah bisa tergerus begitu aja kalau melihat proses anak menyusu di mana dia suka menatap ke saya sambil senyum lalu, “Buuuukkk….”

Luluh lantak pertahanan mamak. Mamak merasa dicintai dan…….dibutuhkan. :’)

Ini kejadian pula ketika siang hari. Istirahat kantor, saya bisa pulang ke rumah untuk pumping dan menyusui karena jarak rumah dan kantor amat dekat (5 menit berjalan kaki saja). Sesampainya di rumah, menemukan anak dan pengasuhnya tidak ada di tempat biasanya karena main ke tempat tetangga. Ya disuruh pulang loh anaknya sama mamak satu ini. Alasannya, anak bisa minum ASI dan yang paling penting, mamaknya kangen disusui.

Makanya saya belum kepikiran jauh banget mengenai menyapih anak. Nanti aja ya, cyiiin, selain masih belum waktunya juga masih nggak rela. Hehehe.

Sekian dulu cerita dari saya. Ibu Ibu yahud juga bisa loh seru-seruan berbagi cerita mengenai topik ini juga. Cek IG Mba @byputy dan Mamamo @mamamolilo untuk info lebih jelasnya.

Sampai bertemu lagi di cerita lainnya. ^^

mamak kiss bye nih

 

 

 

 

Perihal Rimba: Kuning

Pada suatu siang di kawasan Jatinegara Indah,

DHUARRRRRRRRRRR

Tanpa basa basi petir menyambar siang hari bolong, mengagetkan seorang bayi yang sedang terlelap tidur hingga kemudian menangis, dan lalu tangisannya membangunkan ibu yang ketiduran di sisinya. Sang ibu kaget betul, bangun dengan mata berkunang-kunang. Dilihat dan dipukpuknya si bayi agar kembali tenang. Namun si ibu merasa aneh, ia melihat semua hal di sekitarnya samar-samar menjadi kuning. Tembok kamar bersemu kuning, seprei kuning, pun wajah anaknya yang menangis.

–***–

19 Juli 2016

Hari ini, lima hari setelah Rimba lahir, adalah jadwal kontrol Rimba ke dokter anak, sebut Dokter HN. Janji temu dengan beliau di pukul 07.30 dengan wanti-wanti dari suster agar tidak terlambat datang karena dokter HN bukanlah tipe yang suka menunggu dan kami kebetulan dapat antrian nomor 1. Pukul 07.00 kami sudah sampai di RS. Keadaan masih sangat sepi. Beberapa sudut malah masih gelap. Beberapa saat setelah kami menunggu, baru RS menjadi terang dan petugas kebersihan serta suster mulai lalu lalang.

Tiga puluh menit, dokter belum juga datang. Sejam berlalu, belum juga datang. Aku sudah beberapa kali bolak-balik ruang menyusui karena Rimba mulai kasak kusuk lapar. Pada pukul 08.30 akhirnya beliau terlihat. Rimba segera ditimbang beratnya, diukur suhu badannya, diukur tinggi badannya oleh suster, baru masuk ke ruang dokter.

“Tadi pampers nya dibuka ngga?” tanya Dokter HN ke suster

“Wah, engga tuh, Dok” jawab si Sus

“Buka dong. Bajunya juga. Biar fair.”

OMAKKK, batinku. Pengukuran berat badan diulang kembali.

“Tu kan. Berkurang 1 ons. Ini lebih akurat,” kata Dokter HN

Akurat sih akurat anak eug mengkerut kedinginan, sorry ini naluri mamaknya masih nggak terima.

Setelah itu, Rimba mulai diperiksa tanda vitalnya. Detak jantung. Respon mata. Reflek tangan dan kaki. Semua bagiku tampak baik-baik saja.

“Bu, ini anaknya kuning ya.”

HAH. GIMANA GIMANA.

“Kuning sekali ini lho. Lihat.” Dokter HN menekan kedua alis Rimba. Ada gurat kuning di sana. Lalu menekan perut Rimba. Ada gurat kuning di sana. Lalu menekan paha Rimba. Juga ada gurat kuning di sana. Lalu telapak kaki Rimba.

“Kalau sudah sampai kaki begini kuningnya, saya rasa sih bilirubinnya lebih dari 12 nih. Tuh Ibu Bapak lihat sendiri kan.”

Kami bingung.

“Jadi gimana, Dok?”

“Ya tes lab dulu. Nanti kalau sudah tahu angka pastinya berapa, kita tahu apa yang harus diperbuat. Ini saya bikinkan rujukan ke labnya ya biar bisa dites hari ini juga dan hasilnya cepat.”

Surat rujukan selesai dibuat dan diserahkan, kami keluar ruangan dokter.

“Gimana ini?” tanyaku

“Yaudah. Nanti ke lab. Sekarang makan dulu aja. Kamu kan menyusui.”

INI GIMANA LAGI BINGUNG MALAH DISURUH MAKAN SIH! Tapi aku ya nurut aja lhawong laper. Jalan ke kantin RS yang nggak jauh dari klinik anak, pesan nasi soto biar cepet. Soto sudah terhidang di meja, nggak selera makan. Rasanya bener-bener kayak disamber petir yang tempo hari ke Jatinegara Indah itu. Jadi bener ternyata kuning waktu itu bukan karena mataku berkunang-kunang karena bangun tidur kaget? Jadi anakku kuning? Duh mataku panas rasanya. Lihat ke suami,

“Udah makan dulu aja! Jangan lebay!” suamiku emang ngga ada perasaannya menasihati

Kupaksa-paksain makan sambil dleweran luh. Kucoba-cobain masukin makanan ke mulut meski ngga habis pikir dan rasanya pedih. Ya Allah, hidup gini amat ya. Udahlah mahal, sotonya ngga enak pula. *lhaaaaaa*

Setelah adegan dramatisasi makan soto, kamipun pergi ke laboratorium untuk melakukan tes yang dimaksud. Tentunya setelah menyelesaikan administrasi pembayaran yak arena RS ini bukan punya neneknya Rimba. Melihat cara pengambilan darahnya, tentu ku mewek lagi. Bayi umur 5 hari, ditubles jarum diambil darahnya. Ya Allah, hatiku kecuil cuil.

Sejam berlalu, hasil sudah keluar. Langsung kami bawakan ke ruangan Dokter HN tetapi ternyata dokternya sudah pulang. Suster akhirnya membacakan hasilnya kepada kami. Benar ternyata dugaan Dokter HN bahwa bilirubin Rimba lebih dari 12, lebih tepatnya 13,25 dengan detail direct bilirubin 0,7 dan indirect bilirubin 12,59. Hasil tersebut dikomunikasikan oleh suster ke Dokter HN. Beliau kemudian menyarankan untuk fototerapi dan anak diberi susu formula dengan merek susu formula yang sudah tersedia di RS.

Sebagai ibu baru dengan idealisme berapi-api seperti Bagan *itu mah siapi api*, pemberian susu formula ini tidak ada dalam rencana pengasuhan anak milikku. Tolong sekali lagi ini bukan karena aku anti atau hater ya. Murni karena saat itu dalam pikiran yang bingung tapi prinsip masih tegak, ini tidak dapat diterima. Mengapa? ASI-ku ini kenapa emangnya? Aku baru menyusui selama 5 hari lho. Trus kenapa kok kudu minum susu lain? Further explanation kenapa alasannya aku nggak dapat dari dokter tersebut. Padahal ini krusial bagiku karena menyangkut anakku, yang baru kemarin aku ngedenin dari perut. KALAU KAMU NGA TAU RASANYA MENDINGAN DIAAAAM! KAMU CUMA ORANG LUAR! JANGAN SEENAKNYA *lha dia dokter Moms* *oya maap terbawa suasana sinema hidayah*

Mungkin (mungkin saja) jika dokter dapat menjelaskan detail, memberi pemahaman lebih, bisa jadi aku terima saran tersebut. Nah, terdorong rasa ketidakterimaan tadi, aku kemudian tanya dengan susternya

“Ini memang harus banget disinar dan dikasih sufor, Sus?”

Suster, kebetulan ada dua suster di meja penerima saat itu, berpandangan.

“Jujur, Bu, sepanjang kasus yang saya temui, kalau bilirubinnya di bawah 14 nggak perlu disinar.”

NAH BEDA.

“Oke. Jadi gimana? Bisa nggak saya cari pendapat lain? Saya butuh second opinion. Ada dokter anak lain praktik hari ini ngga? Yang gamblang orangnya.”

Suster kemudian mencari-cari di antara nama-nama dokter yang praktik hari itu.

“Ada, Bu. Dokter ADP. Tapi orangnya rada galak. Tapi yang diomongin tuh bener kok. Masuk akal.”

“NGA PAPA! Daftarin saya ke situ.” Dalam hati eug ya bodo amat mau galak mau beringas mau liar pokoknya  mau second opinion titik. Btw, ADP bukan kepanjangan AchmadDaniPrasmanan loh. Bukan.

Kamipun menunggu dan menunggu lagi.

Tibalah giliran kami masuk ke ruang dokter ADP.

Wanjay eug kaget karena mukanya mirip salah satu asisten manajer kantor eug masa. xD

“Gimana, Bu, Pak? Kenapa ini anaknya?”

WANJAYYY ini suara ama lenggat-lenggutnya sama persis asisten manajer eug ya Allah pingin ketawa saat itu juga dasar aku mamak tidak tahu sikon.

Kami ceritakanlah itu perjalanan kami dari pagi sampai sesiangan, bagian soto mahal ngga enaknya tentu kami potong karena lumayan barangkali bisa jadi punchline alias minta ditabok lu ya crita crita gitu?! *kan punch hehehe*

“Saya sih ngga mau komentar ya karena setiap dokter pasti punya pertimbangan sendiri.”

Baiq, Doq

“Kalau misalnya Ibu Bapak nggak suka, saya tanya, KENAPA DARI AWAL IBU BAPA MAU ANAKNYA DICUBLES CUBLES JARUM? HARUSNYA KAN DARI AWAL JANGAN MAU. SEKARANG ANAK IBU UDAH KESAKITAN DIAMBIL DARAHNYA.”

Nga baiq, Doq.

Kitaorang diomelin dah.

Kemudian beliau menaruh Rimba di kasur periksa. Mengecek feses (kebetulan paaaas banget Rimba eek belum digantiin) dan urine, mengecek keaktifan kakinya (saat diletakkan, kaki Rimba bergerak seperti mengayuh sepeda). Dokter ini jelasin banyak banget, lupa lupa detailnya tapi intinya begini:

“Gini loh ya. Menurut saya anak Ibu dengan bilirubin segini wajar. Namanya bayi, fungsi hati belum kerja optimal. Ibu lihat kan tadi. Feses kuning, artinya dia masih usaha ngeluarin bilirubin tuh. Anaknya aktif. Ciri-ciri anak kuning yg parah itu fesesnya pucet kayak dempul warnanya dan anaknya diem, lemes, ngga ada aktivitas.”

Fiuh, alhamdulillah at one point.

“Saya nggak saranin disinar. Saya nggak saranin sufor juga. Saya cuma saranin, bawa ini anak pulang. Pagi jemur. Jemur bukan biar kuningnya ilang tapi biar dia ngerasa haus. Susuin yang banyak. Maksimal 2 jam paling lama jeda nyusunya. Kalau dia tidur terus…..nah ini….tips kalau dia tidur terus nggak bangun-bangun, Ibu sentil aja telapak kakinya,” Dokter nyentil kaki Rimba segelem-gelem trus anake jenggirat kaget begitu pula mamaknya.

ALLAHU AKBAR ANAKKU MESAKNO KOWE NAK.

“Gitu ya Bu, Pak. Dah. Kontrol ke sini seminggu lagi. Observasi lagi kuningnya.”

Keluar dari ruangan dokter bener-bener cessssssss hatiku seperti tenggorokan habis puasa kena es sirup marjan tapi es sirup marjannya dibikinin bidadari surga pokoknya enak tapi enak banget gitu. Terima kasih ya Allah sudah memberi pertolongan kepada kami lewat dokter itu.

Terima kasih ya Dok.

Minggu depan saya kontrol tapi ndak papa ya kalau minggu depan saya nggak ke dokter lagi. Mau cari alternatif lain. Hehehehe.

 

27 Juli 2016

Setelah menerima nasihat dari dokter ADP tempo hari, aku mulai nonstop googling mengenai ‘kasus’ bilirubin ini. Dari pencarian tersebut banyak yang bilang jika bayi kuning memang sesuatu yang umum dialami bayi baru lahir. Selama di rumah pula aku mulai menjalankan saran yang diberikan dokter ADP. Menyusui lebih sering dengan tetap memperhatikan tanda-tanda vital anak: anak tetap aktif dan fesesnya masih kuning. Akupun mulai mencari-cari kandidat dokter anak lagi hingga kemudian dipertemukanlah dengan dokter bernama Dokter HBW. Review yang kubaca, dokternya masih muda dan kebetulan dia adalah anak dari dokter anak senior di RS itu juga. Orangnya baik, penjelasannya gamblang dan yang terpenting ganteng sabar. Kulihat jadwalnya cocok dengan jadwalku sebagai ibu pekerja. Alhamdulillah, emang kalau jodoh nggak ke mana. *yang jodoh ya Rimba bukan mamaknya*

Kunjungan pertama ke dokter tersebut sekitar 6 hari dari kunjungan ke Dokter ADP. Bujug. Rame juga. Ada kali sejam nunggu antrian dokternya. Memang kalau dokter ganteng sabar tuh gini kali ya. Tapi aku tidak menyerah. Kan kubuktikan pada duny……

“Anak Saba……….”

YA SUS. Kamipun masuk ke ruangan.

“Halo…*melihat buku rekam medis*….Saba Rimba. Namanya bagus.”

YAK GUE SUKA DOKTER INI. *shallow mum*

Kemudian kami ceritakanlah perjalanan Rimba dari A ke Z mengenai bilirubin ini. Dokter HBW kemudian memeriksa Rimba. Hampir sama dengan Dokter ADP, ditanya fesesnya berwarna apa. Ditanya anaknya aktif atau tidak. Saat dibaringkan ke kasur periksa, Rimba lagi lagi melakukan gerakan kaki mengayuh yang mana itu tanda yang bagus. Dilihat lagi grafik berat badannya. Ditekan area sekitar alis, perut, paha dan telapak kaki Rimba. Akhirnya Dokter HBW memberikan kesimpulan kepada kami.

“Ini mah breastmilk jaundice.”

HAH. APAAN LAGI TUH. Maknya goblo.

“Jadi, kuningnya ini disebabkan oleh ASI dari ibunya.”

MAMAM DAH.

“…tapi yang jadi obatnya ya ASI ibunya juga. Ngga ada yang lain. Jadi susuin aja terus.”

Aduh otak sesendok eug kaga nyampe ini.

“Kalau sebelum ini bilirubinnya 13, ini sih kayaknya 11an. Ibu lihat kan tadi, beberapa memang masih kuning. Kalau area muka itu pasti di semua bayi kuning paling lama hilangnya. Lihat di telapak kakinya. Nah. *dia nunjukkin dengan menekan nekan telapak Rimba* Udah gak kuning. Kalau begini saya yakin ga sampe 12 ini.”

Alhamdulillah. Eug suka dokter ganteng sabar ini. :’)

“Perlu tes lab nggak, Dok?

“…Ya kalau Ibu mau. Tapi saya sih bilang nggak perlu ya. Kasian anaknya ditusuk jarum sakit.”

“OKE DOK NGAUSAH. Hehehehe.”

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Perasaan makin lega kudapatkan saat keluar dari ruangan Dokter HBW. Meski masih sedikit waswas tidak bisa kupungkiri memang, tetapi bayangan aneh-aneh bisa hilang untuk saat itu.

Bagi yang masih awam dengan apa yang disebut breastmilk jaundice ini, aku coba berikan beberapa tautan yang dapat dibaca ya.

                  Yang terakhir sering disebut-sebut adalah: Breastmilk Jaundice. Kondisi ini biasanya timbul setelah bayi berusia sekitar 1 minggu dan memuncak pada hari ke-10 sampai ke-21, namun dapat berlangsung selama 2-3 bulan. Selama kurun waktu tersebut, walaupun bayi banyak minum ASI, pertambahan BB-nya bagus, BAB sering, BAK berwarna bening, bayi sehat, aktif, lincah dan responsif, namun Bilirubin-nya tetap tinggi dan bayi tetap kelihatan kuning. Belum diketahui secara pasti apa yang menyebaban kondisi ini, namun kalangan medis mencurigai bahwa Beta Glucuronidase, suatu zat yang terdapat dalam ASI mengurangi kemampuan lever bayi untuk mengatasi kadar Bilirubin dalam tubuhnya. Breastmilk Jaundice adalah normal. Tidak perlu untuk berhenti menyusui dalam rangka melakukan “diagnosa” atas kondisi ini. Apabila bayi dalam  kondisi sehat seperti disebutkan diatas, maka tidak ada alasan untuk berhenti menyusui dan memberikan ASI. (https://aimi-asi.org/layanan/lihat/sakit-kuning-dan-menyusui)

 

Breast Milk Jaundice is jaundice that persists after physiologic jaundice subsides. It is seen in otherwise healthy, full-term, breastfed babies. There is no known cause for this type of jaundice, although speculation is that it may be linked to a substance in the breast milk that is blocking the breakdown of bilirubin. Breast milk jaundice tends to run in families. This form of jaundice, however, does not mean that something is wrong with the mother’s milk and that breastfeeding should be stopped. Most babies who present with true breast milk jaundice (only 0.5% to 2.4% of all newborns) may see another rise in bilirubin levels at about 14 days.  The bilirubin levels will eventually decrease. Breast milk jaundice can last for 3-12 weeks after birth, but as long as the baby is feeding well and bilirubin levels are monitored, it rarely leads to serious complications.

(http://americanpregnancy.org/breastfeeding/breastfeeding-and-jaundice/)

Kira-kira seperti itu. Pada artikel tersebut ada pula kondisi yang disebut breastfeeding jaundice. Pada kasus Rimba, Rimba dinilai cukup ASI dilihat dari BAK yang sering dan warnanya bening, feses berwarna kuning terang, serta pertumbuhan berat badan yang baik (pada lima hari pertama setelah lahir ia naik 300 gram, lalu tujuh hari setelahnya naik 500 gram) juga anak yang aktif dan lincah sehingga dikategorikan sebagai breastmilk jaundice bukan breastfeeding jaundice.

Dari kunjungan terakhir ke Dokter HBW, kami dijadwalkan untuk kontrol lagi sebulan setelahnya sekalian melaksanakan vaksin hepatitis B yang kedua. Saat itu akan dipantau lagi apakah masih kuning atau tidak. Hopefully not!

 

19 Agustus 2016

Tibalah hari kontrol juga. Gila ya sebulan rasanya degdegan menunggu hari ini udah kayak nunggu akad. Kami berangkat ke RS dengan hati berdebar-debar. Long story short, saat sudah di ruang praktik dokternya:

“Lho. Ini kuning lagi.”

Astaghfirullah. Lagi-lagi ada petir yang menyambar, kali ini ledakannya lumayan.

“Ibu lihatlah ini. Telapak kaki juga kuning. Saya khawatirnya ada yang ngga beres ini. Trus kulup juga sempit sekali ini. Bisa kena infeksi saluran kemih juga ini. Tapi kalau ISK, bisa sunat. Nah kalau kuningnya, saya sarankan konsultasi ke dokter ahli hati ya. Biar dicek. Mana tahu ada yang missed dari penglihatan kita.”

Rasanya mendengar itu ya, hm, mau nangis meraung-raung saat itu juga. Ya Allah, cobaan belum selesai rupanya. Namun aku tidak menyerah. Anakku haruslah bebas dari kuning ini. Dokter HBW kemudian memberikan surat rujukan kepada dokter ahli hati yang kebetulan juga ada di RS itu. Kami kemudian membuat janji dengan bagian pendaftaran. Besok pagi akan bertemu dengan beliau.

 

20 Agustus 2016

Nama dokternya Dokter YSN. Aku dapat antrian nomor 2 di pagi hari sekitar pukul 09.00. Semoga dokternya tidak terlambat, batinku. Dari jadwal praktik, sejam kemudian dokter tersebut baru muncul. Pasien pertama masuk, kupikir ‘oh ya paling 15 menit keluar’. Ternyata pikiranku salah. Empat puluh menit kemudian pasien pertama baru keluar. NGAPAIN AJA DI DALAM, batinku.

Tiba giliranku masuk, oh oke. Dokter YSN adalah seorang dokter senior. Beliau bahkan membahasakan dirinya ‘Nenek’ ketika berhadapan dengan Rimba. Sebelum memulai periksa, beliau menjelaskan detail mengenai bilirubin pada bayi, mengapa bayi kuning, dsb aku ngga bisa ingat lebih banyak monmaap. Setelahnya, baru diperiksa badan Rimba.

Sebenarnya pemeriksaan badan yang dilakukan hampir sama dengan dokter-dokter sebelumnnya, hanya saja beliau lebih teliti dan pelan. Pantesan tadi antrian nomor 1 lama keluarnya. Detail, Bok. Sejauh yang bisa kuingat, perut mendapat perhatian lebih.

“Kalau diperiksa sepertinya organ hati bekerja baik. Namun untuk lebih memastikan, kita tes lab saja ya.” Lagi-lagi kami diberi surat rujukan untuk ke laboratorium. Kata Dokter YSN, jika cepat melakukan pemeriksaan maka hasilnya juga segera bisa didapat di hari itu juga. Sayangnya karena Dokter YSN tidak bisa standby, maka ketika hasil didapatkan kami diminta untuk menghubungi beliau lewat telepon dan memberitahukan hasilnya. Baiq, seperti yang sebelumnya lagi. Btw, dari Dokter YSN kami sudah diberikan resep obat pemecah bilirubin.

Setelah itu, kami segera mengurus administrasinya agar segera bisa melakukan tes. Tes yang kami lakukan adalah tes Gamma GT, bilirubin total-direk, dan tes urine  untuk melihat apakah ada ISK atau tidak (aku lupa nama tesnya). Hasil untuk tes Gamma GT dan bilirubin total-direk, didapatkan pada pukul 15.00, sedangkan tes urine baru dapat diambil 3 hari kemudian. Meskipun amplop sudah ditangan mau buka rasanya beraat sekali. Rasa-rasa belum siap menerima kenyataan jikalau apa yang dikhawatirkan dokter itu benar. Namun membiarkan amplopnya tertutup terus juga bukan keputusan yang bijak kan? Maka dengan disertai doa doa yang dihapal, dibukalah amplop tersebut.

.

.

.

.

“Halo, Dok YSN. Ini saya orang tua Rimba yang tadi pagi konsultasi.”

“Iya gimana?”

“Kalau dari hasilnya tertulis nilai di bawah nilai rujukan gimana, Dok?” kami menyebutkan angka yang tertulis di kertas yang ada di depan kami.

“Oh. Ngga papa. Berart tidak ada indikasi adanya gangguan hati atau empedu.”

ALHAMDULILLAH. Rasa syukur tak terhingga mendengar itu semua. Dokter YSN kemudian menutup telepon dengan berpesan agar obat diminumkan karena tujuannya untuk mempercepat pemecahan bilirubin dalam tubuh.

Baiq, Doq.

Namun tahukah Anda jika baiq doq hanyalah baiq doq semata? *ini gimana maksud kalimatnya ini pembaca bingung*

Sesampainya di rumah, aku ngiling-iling obatnya yang berbentuk puyer racikan dalam resep yang bisa kubaca tertulis “urdafak”. Oh iya sebelumnya ada yang kelupaan. Saat mengambil obat tersebut, apotiker menanyakan kepada kami:

“Ibu, anaknya epilepsy berat?”

Me lyke whaaattttttttt?

Nah dari situlah aku mulai inisiatif googling mandiri kembali. Beberapa artikel yang kubaca tidak menyarankan penggunakan ‘obat jadul’ urdafak ini untuk kasus anak breastmilk jaundice. Haduh, dalam hati meringis kenapa aku harus tahu ini semua kenapa obatnya sudah tertebus duluan etapi ngga papa yah malah bagus daripada salah-salah.

Berbekal hal tersebut, kuminta swami menanyakan ke dokter HBW apakah perlu mengonsumsi obat tersebut. Kemudian beliau menjawab silakan diminum saja. TAPIIIIIII insting mamak mamakku belum puas mon maaf.  We need the second opinion.

Buru-buru whatsapp teman kantorku. Tanya dia konsultasi dengan dokter anak siapa. Dijawablah dengan Dokter MGT di RS perusahaan. Aku tanya bagus nggak dokternya, dijawabnya bagus, proASI, anti dot, ramah, penjelasannya gamblang. Dan disebutnya juga bahwa Dokter MGT adalah dokter anak bosnya yang mana aku kenal si bosnya ini orangnya rada riwil kalau sama sesuatu, riwil dalam arti semua kudu bagus kudu perfect. Dari situ aku berkesimpulan sementara, dokternya bagus. Kucari-cari jadwalnya kebetulan ybs praktik di dua RS berbeda; Senin s.d Jumat ada di RS perusahannku, Sabtu ada di RS Swasta. Hanya saja setelah menimbang-nimbang jarak juga masalah cover biaya dari perusahaan, aku memutuskan untuk lebih baik mengambil cuti atau izin kerja setengah hari daripada jauh-jauh ke RS Swasta ini.

 

22 Agustus 2016

Setelah menyelesaikan administrasi sebagai pasien baru yang mana prosesnya nggak ribet mungkin karena RS perusahaanku juga kali ya, mengantri kembali untuk bertemu dengan Dokter MGT. Again, perasaan degdegan tiap mengantri di dekat ruang praktik dokter ini selalu datang ya. Kali ini apalagi, makin kencang karena lagi-lagi Rimba ketemu dengan dokter baru dengan masalah yang masih sama dan belum terpecahkan.

Tidak lama nama Rimba dipanggil. Masuk ke ruang dokter, wew, surprisingly dokternya masih muda dan (semoga bukan dianggap harassment) cantik.

“Haaaiiiiiiiiiii, Saba”

Pembawaannya juga cantik dan ramah. Fix! Eug demen dokter ini. *orang yang mudah terkesan*

Kuceritakan detailnya berusaha seinformatif mungkin. Kutunjukkan hasil-hasil laboratorium yang pernah dijalani Rimba. Beliaunya terlihat antusias mendengarkan dan aku senang melihatnya. Setelah ceritaku selesai, barulah beliau merespon. Mengeluarkan semacam tabel dari dalam laci, lalu bilang bahwa tindakanku sudah tepat. Bilirubin di bawah 14 tidak perlu fototerapi karena menurut panduan WHO yang tertuang dalam tabel yang dia keluarkan tadi, jika di atas 18 (cmiiw) lah yang perlu terapi tersebut.

“Ibu kan lihat sendiri. Anak aktif. Berat badan bagus. Nyusu kenceng. Betul tuh kata Dokter HBW. Anak Ibu breastmilk jaundice. Trus kenapa dia galau?”

Alhamdulillah!

“Trus Dok, saya kan kemarin dikasih obat racikan juga. Di resepnya kalau nggak salah namanya Urdafak. Perlu nggak ya?”

“Urdafak ya? Ngga usah ya. Itu obat zaman dulu memang. Kalau di kasus anak Ibu yang mana yang tinggi adalah bilirubin indirect nya, saya nggak kasih. Saya kasih ke pasien saya yang justru bilirubin directnya yang tinggi.”

Puji syukur sekali aku dipertemukan dengan Dokter MGT ini. Sungguh rezeki Rimba ini bagus. Pulang dengan perasaan lega dan gembira, ternyata apa yang aku lakukan dengan petunjuk Allah sudah tepat. Pulang dan melanjutkan terapi ASI lagi serta berharap di kontrol berikutnya yakni saat Rimba usia 3 bulan, kuningnya sudah lenyap.

 

21 Oktober 2016

“Halo, Dokter”

“Halooo, Sabaaaa. Eh sekarang udah nggak kuning ya. Sekarang coklat.”

YES HE IS. :’)

 

———————————————————- selesai ————————————————————

Tambahan dari penulis:

Sekali lagi, saya menceritakan ini semata-mata bertujuan untuk merawat ingatan saya bahwa anak saya pernah mengalami ini semua. Bukan bermaksud mengajak pada siapapun untuk melakukan hal yang serupa. Barangkali cara yang saya tempuh tidaklah tepat tetapi itulah cara yang saya pilih untuk anak saya dengan kondisi di saat itu. Jika buah hati pembaca memiliki kondisi medis yang mirip, baiknya berkonsultasilah dengan pihak yang kompeten, dengan tenaga medis, karena kondisi yang mirip belum tentu treatment yang didapat akan sama.

Terima kasih telah membaca. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan.

 

 

 

RimbaMoonBali: Hari Pertama

Cari akomodasi di Bali mudah atau sulit?

Adudududududu. Mudah mudah sulit sih hahaha. Banyak sekali hotel/inn/villa/resort bertebaran di sana dari mulai yang kelas ekonomi sampai super luxury dan semuanya menawarkan daya tariknya tersendiri. Sebetulnya, ketika merencanakan RimbaMoon, aku sudah punya satu tempat akomodasi inceran di Seminyak. Hanya saja waktu booking room, villa baru tersedia di hari kedua (villanya lumayan laris manis soalnya). Oleh karena itu, kami harus mencari penginapan untuk hari pertama.

Proses pencarian kami dimulai dari: di Bali bagian mana akan menginap, Ubud kah atau Kuta kah atau Seminyak kah atau mana. Oke, kami putuskan menginap di daerah Seminyak karena satu lokasi artinya memudahkan saat pindah ke villa inceran di hari kedua. Kalau masih lajang atau berdua dengan swmai, i’m pretty sure akomodasi hari pertama dan kedua mencar jauhnya juga dijabanin. Haha.

Pencarian dilanjutkan dengan berapa budget yang ‘rela’ dikeluarkan. Itang itung itang itung, oke kami menyediakan maksimal 1 juta untuk 1 malam sudah termasuk sarapan pagi, kamar AC, dan ada kulkas (buat menyimpan pisangnya Rimba xD ). Setelah googling sana sini, kami menjatuhkan pilihan ke Brown Feather by The Gala Hotels Group, ada di Batu Belig, Kerobokan – Seminyak. Berjarak 6 menit saja dari pantai Batu Belig, dan 30 menit dari bandara Ngurah Rai. Cukup strategis dan mudah dicari.

lokasi di sini

Asliiii hotelnya cakeuuuppp banget. Kamar kami bertipe Magena Suite Room sayangnya kami dapat di lantai bawah padahal pinginnya di lantai atas. Mungkin pas penuh. Huhu.

good vibes

aduhhh our lovely Magena Suite

 

welcome drink guava juice yang mirip turmeric jamu

Penyuka konsep vintage rustic pasti terpuaskan deh. Selain desain, pelayanan kamarpun oke. Stafnya ramah dan helpful. Sarapan bisa diantar ke kamar. Kebetulan waktu mau check out, Rimba masih tidur. Ibu Bapanya jadi merasa terbantu bisa sarapan sambil pukpuk anak bayi. Hehe.

bath tub tembaga yang mirip uang emas di film vampir Tiongkok

 

AUCHH HE LOVES IT!

 

bermain

Ini kilim apa bukan sih? pokoknya aku naksir deh!

So what do you think?

Kalau aku sih BIG YES.

AH! Jadi rindu rumah mbahputri~

RimbaMoonBali

Latar Belakang

Sebagai orang yang lumayan suka bepergian kalau pas berduit, maka ketika merencanakan pernikahan hal yang tidak lupa direncanakan juga adalah honeymoon. Apalagi dengan status baru sebagai istri, dan perginya bersama pria terkasih dan dibayarin, sungguh sesuatu yang amat didambakan (ini belum kepikiran mengenai hal iya iya lho ya). Namun, Tuhan berkehendak lain. Rencana tidak terlaksana. 🙂 *menahan sesak di dada*

Ketika badan bertambah jadi dua, saat itu sedang booming istilah babymoon. Lihat artis ini hamil, babymoon ke Maldives. Lihat artis itu hamil, babymoon ke Eropa. YAELAAAA LIHATNYA ARTIS ARTIS MULU. xD

Kepingin juga ih. Oleh karena itu rencana kembali disusun, kali ini tidak muluk-muluk, simpel, irit realistis . Etaunya meleset juga. *mengambil napas lebih panjang* Meski demikian aku sudah sempat foto-foto untuk mengabadikan sang perut buncit sih. Lumayan lah ya, nggak gagal gagal amat.

Setelah melahirkan, tidak ada rencana untuk bepergian. Selain disibukkan dengan kegiatan newlymom, bepergian jauh rasanya menjadi perlu perencanaan amat sangat sangat matang. Banyak sekali yang harus dipikirkan terutama mengenai kondisi bayi. Cari aman, rumah adalah tempat terbaik. Saat itu. Namun, harus kuakui bahwa aku manusia biasa (bukan bukan, ini bukan lirik lagu Wali), kejenuhan menghampiri juga. Sering di rumah, keluar kota paling kalau ada kerjaan kantor yang tentu tidak bisa disebut piknik, hanya bolak balik rumah-swalayan-rumah-swalayan, hasrat tak terbendung. I WANT PICNIC!

Mulai-mulai berdiskusi dengan swmai, sampai akhirnya diputuskan kami akan RimbaMoon (karena terjadi setelah ada Rimba) ke Bali. Kenapa ke Bali? Karena masih meraba-raba bagaimana serunya piknik dengan bayi under 1yro, kami berasumsi piknik di dalam negeri lebih ‘aman’ dibanding keluar negeri. Less repot juga maksudnya. Tidak perlu mengurus passport dan visa, tidak terlalu pusing masalah bahasa dan juga makanan. Juga karena swmai kebetulan belum pernah ke sana selepas studytour SMA dan aku belum pernah ke sana bareng swmai.

Tanggal yang kami pilih adalah 21-25 Mei 2017. Ada hari kejepit satu lumayan buat ngurangin cuti. 😀 5 Days 4 Night akan kami habiskan di sana. Aku dan swmai terjebak LDM (aku di Balikpapan, swmai di Jakarta), kami putuskan starting point adalah Balikpapan.

Maka jadilah~

 

Barang Bawaan

Pilah pilih pilah pilih. Kumpulin, sortir lagi, masukkan koper.

FIUHHH.

Ternyata anak bayi bawaannya banyak juga ya. Baju ganti, diapers, toilettries, P3K, mainan, pelampung (iyes aku bawa pelampung segede gaban niaatttttttttt!), juga peralatan tempur MPASI meliputi slowcooker, hand-blender, termos makan, sabun cuci piring khusus bayi, sendok, straw-cup, dan pisau. Ini karena aku memang mau memasakkan MPASI Rimba selama piknik. Hehehe.

Karena bawaan anak bayi sudah banyak, orang tuanya ngalahi lah ya. Bawa baju seperlunya, yang penting-penting, yang bisa dipakai lebih dari sehari supaya irit. Tapi tetep aja banyak~

koper bawaan belum termasuk diaper bag dan tas jinjing

Untuk bahan-bahan mentah MPASI, aku cuma bawa beras (sekitar 20 sendok makan karena Rimba makan nasi sehari sekitar 4 sendok beras dimasak) daripada beli di sana harus sekilo nggak habis dan malas bawa pulangnya, bawang putih beberapa siung, EVCO, dan pisang setengah matang 2 buah (kali kali aja anaknya lapar masakan belum jadi bisa langsung lep gitu). Bahan lainnya beli di swalayan Bali. Menu masih 4* tapi tidak double protein.

 

Itinerary

Hal paling rumit dari semuanya adalah menyusun itinerary. Gimana caranya pergi ke tempat tempat yang aman, kondusif dan memuaskan hati bayi dan orang tuanya (juga) tanpa bikin bayi terlalu capek. Untungnya karena di Bali, lumayan banyak referensi tempat wisata baby-friendly meskipun nggak semuanya kami masukkan ke itinerary. Dan berhubung villa yang dipilih lumayan pricey, kamipun nggak ngoyo ngejar tempat wisata alias menyisakan banyak waktu untuk leha-leha di villa, berenang berenang (udah bawa pelampung, cyiiinnn), bobo bobo menikmati hidup sejenak melupakan KPR dan closing akhir bulan.  Pssst, aku menyelipkan satu agenda me-time (ini juga sepersetujuan swmai) yakni paragliding uhuy. Aji mumpung nggak papalah ya daripada Aji Rawa Rontek. #halahhhhh

itinerary download di sini

main pok ame ame

OFF WE GO!

*bersambung ke berikutnya*

*karena kalau bersambung ke sebelumnya, yang disambung apanya? tali silaturahmi?*